BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kehidupan modern yang semakin kompleks ini, rentan terjadi
konflik sosial hal ini akan memicu terjadinya
peningkatan stress apabila seseorang kurang mengadaptasi
keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang dimiliki, baik kenyataan
yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Gaya hidup dan persaingan hidup
menjadi semakin tinggi, hal ini disebabkan karena tuntutan akan kebutuhan ekonomi,
sandang, pangan dan papan, pemenuhan kebutuhan kasih sayang, rasa aman, dan
aktualisasi diri dapat berakibat tingginya tingkat stress dan depresi di
kalangan masyarakat. Jika individu kurang atau tidak mampu dalam menggunakan
mekanisme koping dan gagal dalam beradaptasi maka individu akan mengalami
berbagai penyakit baik fisik maupun mental bahkan gangguan jiwa (Rasmun, 2004).
Gangguan
jiwa merupakan gangguan pikiran, perasaan atau tingkah laku sehingga
menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Gangguan jiwa
disebabkan karena gangguan fungsi sel-sel saraf di otak, dapat berupa
kekurangan maupun kelebihan neutrotransmiter atau substansi tertentu (Febrida,
2007). Data WHO 2006, mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira
12-16 persen mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan,
jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang.
Prevalensi
gangguan kesehatan jiwa tertinggi di Indonesia
terdapat di daerah khusus ibu kota Jakarta
(24,3 persen), di ikuti oleh Nangroe Aceh Darussalam (18,5 persen), Sumatera
barat (17,7 persen), NTB (10,9 persen), Sumatera selatan (9,2 persen), Jawa
tengah (6,8 persen) (Depkes RI 2008).
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (2007), menunjukan bahwa prevalensi
gangguan jiwa secara nasional mencapai 5,6 persen dari jumlah penduduk, dengan
kata lain menunjukan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat 4 sampai 5
orang menderita gangguan jiwa, berdasarkan dari data pertahun di Indonesia yang
mengalami gangguan jiwa selalu meningkat (DepKes, 2012)
Sedangkan
menurut data dari dinas kesehatan provinsi
Jawa Tengah menunjukan bahwa dari 150 juta penduduk di wilayah Jawa Tengah ,
ada sekitar 1,47 juta yang mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah tersebut tidak
mendapatkan penanganan khusus akibat kurangnya fasilitas pelayanan khusus untuk
penyakit gangguan jiwa, kebanyakan dari mereka hanya dibiarkan dijalanan dan
dipasung sehingga terus mengalami peningktan setiap tahun. 69 % diantaranya
mengalami gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan, 11% halusinasi, 13% harga diri rendah, 12% waham. Melihat angka kejadian dan peningkatan yang
cukup besar tersebut diharapkan pemerintah provinsi Jawa Tengah lebih
memperhatikan dengan serius masalah ini (Dep Kes RI, 2007).
Upaya dalam penanganan
masalah kesehatan jiwa di
Indonesia belum
memuaskan. Hal itu karena keterbatasan anggaran pemerintah, minimnya sarana
pelayanan serta sumber daya manusia, baik psikiater maupun perawat kesehatan
jiwa. Selain itu pemahaman masyarakat mengenai masalah kesehatan jiwa masih
rendah. Masih ada stigma terhadap gangguan jiwa, serta adanya rasa malu untuk
mencari pertolongan. Masyarakat mengidentifikasi gangguan jiwa hanya dengan
psikotik atau gila. Banyak yang belum tahu bahwa kecemasan dan depresi termasuk
gangguan mental dan perlu perawatan karena keadaan depresi juga dapat memicu terjadinya
perilaku kekerasan.
Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan merupakan
respon kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, dimana individu dapat merusak
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Helena & Keliat, 2006).
Perilaku kekerasan merupakan respon
terhadap keunikan, kekuatan dan lingkungan rumah sakit yang terbatas yang
membuat klien merasa tidak berharga dan tidak diperlakukan secara manusiawi.
Respon ini dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal. Secara
internal dapat berperilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan
secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Adapun respon marah
diungkapkan melalui 3 cara yaitu secara verbal, menekan dan menantang (Yosep, 2007)
Menurut data rekam medis RSJD dr. AMINO GONDOHUTOMO Semarang pada tahun
2013 jumlah penderita gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan mencapai 62,76 %
atau 235 jiwa. Jumlah yang cukup besar untuk diperhatikan dan mendapatkan
penanganan yang serius. Hal ini
dibuktikan dengan data rekam medis pada tahun 2012 yaitu 23,05% atau
sekitar 107 jiwa. Hal tersebut menunjukan bahwa setiap tahun jumlah penderita
gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan terus
meningkat.
Pada dasarnya semua pasien dengan perilaku kekerasan di RSJD dr. AMINO
GONDOHUTOMO Semarang telah mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan
oleh dokter spesialis kejiwaan, rawat inap/jalan, terapi dengan obat-obatan
psikotropika, terapi kejang listrik (ECT) dan lain-lain, akan tetapi upaya
tersebut tidak membuahkan hasil yang optimal pada kenyataanya banyak pasien
dengan perilaku kekerasan yang sudah pernah dirawat kemudian kembali lagi ke
rumah sakit, bahkan jumlah pasien dengan perilaku kekerasan bertambah banyak
setiap tahunya.
Melihat permasalahan diatas, kasus gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan di RSJD dr. AMINO GONDOHUTOMO
Semarang, yang mencapai 62,76 % penulis tertarik untuk membuat Karya Tulis
Ilmiah mengenai “ ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RSJD dr. AMINO
GONDOHUTOMO SEMARANG”
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran secara nyata
dan lebih mendalam tentang pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
perilaku kekerasan.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu
melakukan pengkajian pada pasien dengan perilaku kekerasan
b. Mampu
menetukan masalah keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan
c. Mampu
membuat diagnosa keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan
d. Mampu
membuat intervensi/rencana keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan
e. Mampu
membuat implementasi/tindakan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan
f. Mampu
mengevaluasi asuhan keperawatan peda klien dengan perilaku kekerasan
C.
Metode
Penulisan
Dalam
penulisan laporan ini penulis menggunakan metode dekskriptif dan dalam
mengumpulkan data penulis menggunakan metode study kasus dengan pendekatan
proses keperawatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
dan disajikan dalam bentuk narasi.
Berikut
adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data guna penyusunan
karya tulis ilmiah, misalnya :
1. Wawancara
Mengadakan tanya jawab dengan pihak terkait:
Klien maupun tenaga kesehatan mengenai data klien tentang perilaku kekerasan.
2. Observasi
Partisipasi
Dengan mengadakan pendekatan dan
melaksanakan asuhan keperawatan secara langsung selama klien di rumah sakit
jiwa
3. Pemeriksaan
fisik
Metode pengumpulan data dengan melakukan
pemeriksaan pada klien yaitu dari kepala sampai kaki (head to toe)
4. Studi
dokumentasi
Metode penyelidikan untuk memperoleh
keterangan atau informasi dari catatan tentang gejala atau peristiwa yang lalu
mengenai perawatan maupun pengobatan
5. Studi
kepustakaan
Menggunakan dan mempelajari literatur
medis maupun perawatan penunjang sebagai teoritis untuk menegakan diagnosa dan
perencanaan keperawatan
D.
Manfaat
Penulisan
1. Bagi
Penulis
Hasil penelitian ini dapat menjadi
pengalaman belajar dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis
2. Bagi
Institusi
a. Bagi
rumah sakit
Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan
pemberian pelayanan kesehatan berkaitan dengan pasien perilaku kekerasan
b. Bagi
pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan
referensi atau ilmu bagi institusi keperawatan khususnya keperawatan jiwa.
c. Bagi
profesi perawat
Hasil penelitian ini dapat menjadi
sumber informasi bagi profesi tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien
dengan perilaku kekerasan sehingga dapat memberikan pelayanan keperawatan yang
berkualitas.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (
Yosep, 2011).
Resiko perilaku
kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan
dorongan untuk bertindak dalam bentuk dekstruktif dan masih terkontrol (Yosep,
2007).
B.
Rentang respon
Perilaku asertif merupakan
perilaku individu yang mampu menyatakan dan mengungkapkan rasa marah atau tidak
setuju tanpa menyakiti atau menyalahkan orang lain. Dengan perilaku ini dapat
melegakan perasaan pada individu. Frustasi merupakan respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Perilaku
pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan
marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan menghindari suatu tuntutan
nyata. Agresif merupakan suatu perilaku yang menyertai marah, merupakan
dorongan mental untuk bertindak dan masih terkontrol. Individu agresif tidak
mempedulikan hak orang lain. Bagi individu ini hidup adalah medan peperangan.
Biasanya individu kurang mempercayai diri. Harga dirinya ditingkatkan
dengan cara menguasai orang lain untuk membuktikan kemampuan yang dimilikinya. Violent (amuk) adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat dan disertai
kehilangan kontrol, yang dapat merusak diri dan lingkungan (Riyadi dan
Purwanto, 2009).
C.
Etiologi
Menurut Riyadi dan Purwanto (2009) faktor-faktor yang
mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan adalah
1.
Faktor biologis
a.
Instinctual drive theory
(teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabakan oleh
suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
b.
Psycomatic theory (teori
psikomatik)
Pengalaman marah adalah akbatdari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.
2.
Faktor psikologis
a.
Frustasion aggresion
theory (teori agresif frustasi)
Menurut teori ini
perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat.
b. Behaviororal theory ( teori perilaku)
Kemarahan adalah proses
belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang
mendukung.
c.
Existensial theory
(teori eksistensi)
Bertindak sesuai
perilaku adalah kebutuhan dasar manusia apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
dipenuhi melalui perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi kebutuhanya
melalui perilaku destruktif.
3.
Faktor sosial kultural
a.
Sosial Environment
theory (teori lingkungan)
Lingkungan sosial akan
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan
membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku
kekerasan diterima.
D.
Pohon Masalah
Resiko Mencederai diri sendiri, orang lain
dan lingkungan
Gangguan
konsep diri : harga diri rendah
(Keliat, 2006)
E. Manifestasi Klinis
Pada pengkajian awal dapat diketahui
alasan utama klien ke rumah sakit adalah perilaku kekerasan di rumah. Kemudian
perawat dapat melakukan pengkajian dengan cara:
1.
Observasi: Muka merah, pandangan tajam,
otot tegang, nada suara tinggi, berdebat. Sering pula tampak klien memaksakan
kehendak: merampas makanan, memukul jika tidak senang.
2.
Wawancara: diarahkan pada penyebab
marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan klien.
3.
Menurut Keliat, 2006 tanda-tanda klinisnya yaitu
Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi), rasa bersalah terhadap diri sendiri
(mengkritik/menyalahkan diri sendiri), gangguan hubungan sosial (menarik diri),
percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan), mencederai diri (akibat dari
harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan
mengakiri kehidupannya.
F.
Penatalaksanaan
Medis
Menurut Yosep (2007) obat-obatan yang
biasa diberikan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut:
a.
Antianxiety dan sedatif
hipnotics. Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut.
Benzodiazepine seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering digunakan dalam
kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan klien. Tetapi obat ini
tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu lama karena dapat
menyebabkan ketergantungan dan kebingungan, juga bisa memperburuk simptom
depresi
b.
Buspirone obat antianxiety,
efektif dalam mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan
dan depresi.
c.
Antidepressants,
penggunaan obat ini mampu mengonrol impulsif dan perilaku agresif klienyang
berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline dan Trazodon, menghilangkan
agresifitas akibat cedera kepala dan gangguan mental organik.
d.
Antipsycotic
dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan.
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian :
Menurut Farida (2010) data yang perlu
dikaji pada pasien dengan perilaku
kekerasan yaitu pada data subyektif klien mengancam, mengumpat dengan kata-kata
kotor, mengatakan dendam dan jengkel. Klien juga menyalahkan dan menuntut.
Sedangkan pada data obyektif klien menunjukan tanda-tanda mata melotot dan
pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah merah dan tegang,
postur tubuh kaku dan suara keras.
2.
Masalah keperawatan:
a.
Perilaku
kekerasan / amuk
b.
Gangguan
konsep diri : harga diri rendah
c.
Resiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3.
Data yang perlu dikaji:
1) Perilaku kekerasan / amuk
a)
Data
Subyektif
:
(1) Klien mengatakan
benci atau kesal pada seseorang.
(2) Klien suka membentak
dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
(3) Riwayat perilaku
kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b)
Data Obyektif
(1) Mata merah, wajah
agak merah.
(2) Nada suara tinggi dan
keras, bicara menguasai.
(3) Ekspresi marah saat
membicarakan orang, pandangan tajam.
(4) Merusak dan melempar barang‑barang.
2) Resiko mencederai diri, orang lain
dan lingkungan
a)
Data
Subyektif
:
(1) Klien mengatakan
benci atau kesal pada seseorang.
(2) Klien suka membentak
dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
(3) Riwayat perilaku
kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b)
Data
Objektif
:
(1) Mata merah, wajah
agak merah.
(2) Nada suara tinggi dan
keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
(3) Ekspresi marah saat
membicarakan orang, pandangan tajam.
(4) Merusak dan melempar barang‑barang.
4.
Diagnosa Keperawatan
1.
Perilaku
kekerasan
2.
Gangguan
konsep diri : harga diri rendah
3.
Resiko
menederai diri, orang lain dan lingkungan
5.
Rencana Tindakan
Diagnosa 1
: perilaku kekerasan
Tujuan Umum : Klien tidak
mencederai diri sendiri, orang lain dan
a.
Tujuan Khusus:
1)
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a)
Beri
salam/panggil nama
b)
Sebutkan
nama perawat sambil jabat tangan
c)
Jelaskan
maksud hubungan interaksi
d)
Jelaskan
tentang kontrak yang akan dibuat
e)
Beri rasa aman dan sikap empati
f)
Bicara dengan rileks dan tenang tanpa
menantang
2)
Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
a)
Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaanya
b)
Bantu klien mengidentifikasi penyebab
jengkel/kesal
3)
Klien dapat mengidentifikasi tanda dan
gejala perilaku kekerasan
Tindakan :
a)
Anjurkan klien
mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakanya saat marah/jengkel
b)
Observasi tanda dan
gejala perilaku kekerasan pada klien
c)
Simpulkan bersama klien
tanda dan gejala jengkal/kesal yang dialami klien
4)
Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan
Tindakan:
a)
Anjurkan klien untuk
mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan klien (verbal,pada orang
lain,pada lingkungan, dan diri sendiri)
b)
Bantu klien bermain peran sesuai
dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
c)
Bicarakan dengan klien apakah dengan
cara yang klien lakukan masalahnya selesai
5)
Klien
dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Tindakan:
a)
Bicarakan
akibat/kerugian dari cara yang dilakukan klien
b)
Bersama klien
menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan oleh klien
c)
Tanyakan kepada klien
“apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”
6)
Klien
dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan
:
a)
Diskusikan kegiatan fisik yang biasa
dilakukan klien
b)
Beri pujian atas
kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien
c)
Diskusikan dua cara fisik
yang paling mudah dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan, yaitu tarik
nafas dalam dan pukul bantal dan kasur
d)
Diskusikan cara
melakukan tarik nafas dalam dengan klien
e)
Beri contoh pada klien
tenteang cara menarik nafas dalam
f)
Minta klien untuk mengikuti
contoh yang diberikan sebanyak 5 kali
g)
Beri reinforcement
positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik nafas dalam
h)
Tanyakan perasaan klien
setelah selesai
i)
Anjurkan klien untuk
menggunakan cara yang telah dipelajari saat marah
7)
Klien
dapat mendemonstrasikan cara sosial/verbal untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan:
a)
Diskusikan cara bicara yang baik dengan
klien
b)
Beri contoh cara bicara
yang baik:
(1). Meminta dengan baik
(2). Menolak dengan baik
(3). Mengungkapkan
perasaan dengan baik
c) Minta klien mengikuti contoh cara yang baik
d) Minta klien mengulang sendiri
e) Beri pujian atas keberhasilan klien
f) Diskusikan dengan klien tentang waktu dan
kondisi cara bicara yang dapat dilatih diruangan
g) Susun jadwal kegiatanuntuk melatih cara yang
dipelajari
h) Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan
latihan
8) Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual
untuk mencegah perilaku kekerasan
Tindakan :
c)
Diskusikan dengan klien
kegiatan ibadah yang pernah dilakukan
d)
Bantu klien menilai
kegiatan ibadah yang dapat dilakukan diruang rawat
e)
Bantu klien memilih
kegiatan ibadah yang akan dilakukan
f)
Minta klien untuk
medemonstrasikan kegiatan ibadah yang dipilih
g)
Beri pujian atas
keberhasilan klien
9) Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan
minum obat untuk mencegah perilaku kekerasan.
Tindakan :
a)
Diskusikan dengan klien
tentang jenis obat yang diminumnya (nama,warna,besarnya); waktu minum obat jika
3 kali: pkl. 07.00, 13.00, 19.00); cara minum obat
b)
Diskusikan denga klien
tentang manfaat minum obat secara teratur:
(1) Beda perasaan
sebelum minum obat dan sesudah minum obat
(2) Jelaskan bahwa dosis
hanya boleh diubah oleh dokter
(3) Jelaskan akibat
minum obat yang tidak teratur, misalnya, penyakitnya kambuh
c) Diskusikan tentang proses minum obat:
(1) Klien meminta obat
kepada perawat (jika di rumah sakit) kepada keluarga (jika dirumah)
(2) Klien memeriksa obat sesuai dosisnya
(3) Klien meminum obat pada waktuyang tepat
d) Susun jadwal minum obat bersama klien
e) Validasi pelaksanaan minum obat klien
f) Tanyakan kepada klien “bagaimana perasaan
budi dengan minum obat secara teratur ? apakah keinginan untuk marah berkurang
?”
Diagnosa 2 : Gangguan Konsep
Diri : Harga Diri Rendah
a.
Tujuan
Umum : Klien tidak melakukan kekerasan
b.
Tujuan Khusus :
1)
Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
a)
Bina
hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi terapeutik.
b)
Sapa
klien dengan ramah, baik verbal/nonverbal
c)
Perkenalkan
diri dengan sopan
d)
Tanyakan
nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
e)
Jelaskan
tujuan pertemuan.
f)
Jujur
dan menepati janji.
g)
Tunjukan
sikap empati dan menerima klien apa adanya.
2)
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan
dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan:
a)
Diskusikan
kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien, buat daftarnya.
b)
Hindarkan memberi penilaian negative,
setiap ketemu dengan pasien.
c)
Utamakan memberi pujian yang realistik
pada kemampuan dan aspek positif klien
3)
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
Tindakan :
a)
Diskusikan dengan klien kemampuan yang
masih dapat digunakan selama sakit
b)
Diskusikan kemampuan yang dapat
dilanjutkan / digunakan di RS.
c)
Berikan pujian
4)
Klien dapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuan yang dimiliki.
Tindakan:
a)
Rencanakan
bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan/ mau dilakukan di RS:
(1)
Kegiatan
sendiri
(2)
Kegiatan
dengan bantuan sebagian
(3)
Kegiatan
yang membutuhkan bantuan total.
b) Bantu
klien melakukannya jika perlu beri contoh.
c) Beri
pujian atas keberhasilan klien.
d) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang
telah dilatih.
1)
Catatan:
ulangi kemampuan lain sampai selesai semua.
5)
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi
sakit dan kemampuannya.
Tindakan :
a)
Beri kesempatan kepada
klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
b)
Beri
pujian atas keberhasilan klien.
c)
Diskusikan
kemungkinan pelaksanaan dirumah.
6)
Klien
dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
a) Beri
penkes pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah.
b) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
c) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
d) Jelaskan cara pelaksanaan jadual kegiatan klien di rumah.
e) Anjurkan memberi pujian pada klien setiap berhasil.
No comments:
Post a Comment